“Manusia Bertugas Menjemput Takdir”.
Manusia bukan menakdirkan, tetapi ditakdirkan. Begitu kata Rektor UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Prof. Dr. Phil. H. Al Makin, MA. Pendapat Almakin tersebut relevan untuk kita jadikan rujukan di tengah situasi kehidupan yang serba sulit akibat wabah pandemi covid-19. Pendapat tersebut juga menguatkan posisi manusia yang pada dasarnya lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa ketika dihadapkan pada kekuatan dan kebesaran Allah swt.
Sebagaimana konsep tauhid yang diusung madzhab aswaja, manusia memang dikarunia kewenangan untuk menjemput takdir yang dicita-citakan. Untuk menjemput takdirnya itu, manusia diwajibkan untuk ikhtiar. Yakni, bekerja keras, bekerja cerdas, bekerja profesional, dan bekerja ikhlas. Setelah berusaha secara maksimal, manusia selanjutnya diperintah untuk berdoa memohon pertolongan kepada Allah melalui shalat dan bersabar agar takdir yang dijemputnya itu bisa tercapai.
Ketika berada di wilayah ikhtiar, manusia harus membuat perencanaan dalam menjemput takdir dengan perencaan yang sebaik-baiknya, bermutu dan disertai niatan yang ikhlas. Rencana bisa diibartkan seperti niat. Makin bagus sebuah niat, maka bisa dikatakan makin bagus pula sebuah perencanaan. Setelah rencana menjemput takdir dinilai matang, manusia harus segera melaksanakan rencananya sesuai Besteknya, sesuai RAP nya, sesuai SAP nya, sesuai RPP nya, sesuai SOP nya, seusi aturan mainnya, sesuai tata tertibnya, sesuai kepantasan, atau sesuai niatnya.
Untuk menjemput takdirnya, manusia dihadapkan pada tantangan, problematika, penjegalan dan perampokan niat yang dilakukan oleh syetan dan godaan hawa nafsu. Jika manusia tidak mampu menahan hawa nafsunya dan menghalau godaan syetan, maka manusia akan kesulitan menjempur takdirnya. Sehingga takdir yang mestinya bisa dijemput 100 persen, namun karena manusia kurang fokus sehingga takdir yang ia jemput hanya ebagian saja atau bahkan manusia bisa tergelincir di jurang kegagalan. Karena itu, ketika melihat hasil yang belum maksimal manusia masih diberikan kesempatan untuk melakukan tindak lanjut atau perbaikan, remidi atau ujian ulang. Bahkan, kalau perlu dilakukan pembongkaran bangunan niat atau menata ulang niat yang mungkin kurang lurus.
Sebagaimana yang dikatakan William Edward Deming, untuk mencapai produk atau jasa yang bermutu atau untuk menjemput takdirnya, maka bisa dilakukan melalui tahap Plan atau perencanaan, Do atau pelaksanaan, Check atau evaluasi dan Aktion atau tindak lanjut. Siklus tersebut lebih akrab dikenal dengan sebutan Siklus Deming atau PDCA. Sikluas tersebut bisa diulang-ulang hingga takdir berhasil dijemput.
Ketika manusia sudah melakukan usaha secara maksimal, dan siklus Deming juga sudah dilakukan berulang-ulang, namun ternyata takdir yang diinginkan tidak berhasil dijemput, maka saatnya para penjemput takdir kembali kepada pendapat Prof Al Makin. “Manusia ditakdirkan, bukan menakdirkan”. Karena sesunggugnya Allah Maha Merencana sekaligus Maha Mewujudkan. Jika rencana manusia sama dengan renacana Allah, maka manusia berhasil menjemput takdir yang diinginkan, Namun jika rencana manusia tidak sama dengan rencana Allah, maka mansia akan gagal menjemput takdirnya. Baik takdir yang berhasil dijemput, maupun takdir yang gagal dijemput, keduanya adalah takdir Allah. Dan, sebagai hamba yang beriman, maka harus menerima apapun takdir yang diputuskan oleh Allah swt. Wabil qadri khairhi wa syarrihi minallahi ta’aala.(*)
Sholihin Hasan
Ketua LP2M STAI Almuhammad sekaligus Anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Kabupaten Blora